Menyusuri lorong waktu begitu menyenangkan dan kami sudah menyadari jika aroma bisa memberikan emosi-emosi tertentu bagi seseorang. Aroma bisa menjadi tempat bersemayamnya rindu, kasih sayang, bahkan luka yang tidak pernah benar-benar hilang.
Dan hari ini, kami ingin mengajak kamu masuk menuju cerita Adelia dengan aroma manis yang melekat sepanjang hidupnya. Seorang gadis yang sejak kecil tumbuh dengan obsesi dan kedekatan yang begitu erat dengan ayahnya. Baginya, ayah bukan sekadar orang tua, melainkan pusat dunia yang memberi arti pada setiap langkahnya.
Tidak heran jika wangi ini menjadi salah satu penawar rindu dan rasa khawatir yang berlebihan saat dia memutuskan untuk merantau, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, jauh dari kedua orang tuanya.
Jika kamu sedang merindukan kasih sayang ayah, barangkali lorong waktu ini bisa menjadi penawar yang tepat untuk mengobati rasa itu. Selamat menikmati cerita penuh suka tentang Ayah.
Aku, anak pertama dari dua bersaudara. Semua orang tahu aku selalu menjadi anak kesayangan Ayah. Apalagi ketika ada acara keluarga, orang-orang sering memanggilku "anak kesayangan ayah," dan aku tidak pernah merasa bosan mendengarnya.
Itu seolah menjadi validasi, bahwa aku menerima cinta paling murni, paling penuh, dari laki-laki pertama yang aku kenal, Ayahku.
Kedekatanku dengan ayah dimulai sejak kecil. Waktu aku berumur 5 hingga 8 tahun, aku dan ayah banyak menghabiskan waktu bersama karena adanya perbedaan jam kerja dengan ibu.
Ibuku biasanya pulang larut dibandingkan ayah karena ada proyek besar di kantornya. Makanya, setelah ayahku pulang, cuma dia teman bermainku saat itu.
Dan kasih sayang itu semakin terjalin erat bersama ayah. Dia juga sosok yang sangat lembut, memanjakan aku dengan cara yang benar, dan tidak pernah membiarkanku merasa tidak nyaman.
Mulai dari antar jemput sekolah, makan bersama, bermain bersama, ayah tidak pernah absen melihat proses pertumbuhan diriku. Ayah juga adalah pendengar yang sangat baik setelah aku menginjak usia remaja.
Dan aku merasa, jika aku semakin bergantung dengan ayah. Rasa sayang kepadanya tumbuh begitu besar dan selalu ingin menghabiskan banyak waktu bersamanya.
Bahkan beberapa kali ikut ayah dinas kerja ke luar kota, sekalian kami pergi liburan. Saking senangnya bersama ayah.
Setiap pagi, entah langit dihiasi guyur cahaya keemasan atau diselimuti awan kelabu, rumahku selalu berdengyut dengan rasa tenteram.
Biasanya kami duduk di rooftop depan, seperti dua sahabat kecil yang merayakan hari dengan secangkir kopi hitam dan segelas susu hangat dari ibu. Percakapan mengalir seperti aliran sungai, ringan tapi menenangkan.
Ayah tidak pernah lupa menanyakan perasaanku, apakah semangat sudah tampak di wajahku atau justru masih terhalang rasa malas.
Kalau suasana hatiku redup, ayah selalu punya cara menyalakan lilin kecil di dalam diriku, dengan janji makan malam di luar atau sekadar mengiming-imingiku hadiah kecil dan sudah cukup membuatku tersenyum lagi.
Tapi hidup tidak pernah semulus itu, tidak sejak pagi itu datang ...
Tapi hidup tidak pernah semulus itu, tidak sejak pagi itu datang ...
Waktu itu hari Senin, aku tidak melihat adanya tanda, hanya pagi biasa, langit juga tampak biru cerah, matahari mulai pelan-pelan menunjukkan wajahnya, dan seperti biasa ayah sudah menyambutku di depan untuk minum bersama. Tapi aku tidak menyangka, kalau ternyata, pagi itu adalah awal dari sesuatu yang tidak lagi sama.
"Gimana pr-nya udah beres semua?"
"Udah dong Pah, btw bulan depan liburan, yu Pah! Aku mau main ke taman safari"
"Kamu lupa? Ayah udah bilang kalau aku akan ada dinas keluar negeri, dan prosesnya dipercepat. Kontraknya udah ditandatangani untuk bulan depan ..."
Susu hangat di tanganku mendadak dingin dan aku mulai menyadari jika itu adalah susu terakhir yang akan aku minum di pagi hari bersama ayah. Mendadak aku menangis ke dalam rumah dan tidak mau berangkat sekolah setelah ayah berbicara.
Aku bahkan memohon supaya ayah tidak pergi. Apalagi sejak kecil hingga sebelum dinas keluar negeri, ayah tidak pernah satu hari pun jauh dariku. Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana hari-hari tanpa melihat sosoknya setiap hari.
Waktu itu hari Senin, aku tidak melihat adanya tanda, hanya pagi biasa, langit juga tampak biru cerah, matahari mulai pelan-pelan menunjukkan wajahnya, dan seperti biasa ayah sudah menyambutku di depan untuk minum bersama
Tapi aku tidak menyangka, kalau ternyata, pagi itu adalah awal dari sesuatu yang tidak lagi sama.
"Gimana pr-nya udah beres semua?"
"Udah dong Pah, btw bulan depan liburan, yu Pah! Aku mau main ke taman safari"
"Kamu lupa? Ayah udah bilang kalau aku akan ada dinas keluar negeri, dan prosesnya dipercepat. Kontraknya udah ditandatangani untuk bulan depan ..."
Susu hangat di tanganku mendadak dingin dan aku mulai menyadari jika itu adalah susu terakhir yang akan aku minum di pagi hari bersama ayah. Mendadak aku menangis ke dalam rumah dan tidak mau berangkat sekolah setelah ayah berbicara.
Aku bahkan memohon supaya ayah tidak pergi. Apalagi sejak kecil hingga sebelum dinas keluar negeri, ayah tidak pernah satu hari pun jauh dariku. Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana hari-hari tanpa melihat sosoknya setiap hari.
Tapi kenyataan tetap berjalan. Ayah tetap pergi, meninggalkan kami dengan janji akan selalu pulang setiap beberapa bulan sekali.
Waktu itu, aku masih terlalu cengeng, terlalu egois. Namun, janji-janji ayah terbukti nyata. Meski rumah lebih sepi tanpa dirinya, dia masih selalu menyempatkan waktunya untuk keluarga.
Kami (ayah, ibu, adik, dan aku) sering bercerita melalui video call grup melalui Whatsapp, mulai dari menceritakan keseharian ayah di tempat kerja, ibu yang menceritakan adik susah diatur, adik yang mengadu soal aku yang sering menjahilinya, dan aku yang banyak bertanya tentang keadaan ayah di sana.
Dua tahun setelah menginjak sweet seventeen, ayah pulang ke rumah sekaligus merayakan karena aku baru saja diterima di universitas top 3 negeri. Ayah, ibu, adik sangat berbahagia dan bangga padaku. Ibu memberikanku hadiah sepeda motor, adik memberikanku tas lucu dari longchamp untuk kuliah. Dan saat itu, ayah membelikanku hadiah parfum, katanya dia membelikan parfum itu karena botolnya sangat lucu, berwarna biru, dan wanginya manis bunga, cocok buat aku yang suka aroma lembut.
Ayahku bahkan tahu jelas seperti apa seleraku, sesimpel dalam memilih parfum. Dan sejak saat itu, parfum yang diberikan ayah menjadi media paling berharga yang bisa mengingatkan aku dengan mudah tentang ayah.
Setelah masuk kuliah, aku harus pergi merantau. Kini, bukan hanya jauh dari ayah, tapi juga ibu dan adikku. Dulu, sebelum merantau, aku masih bisa bertemu dengan ayah beberapa bulan sekali, atau melalui video call. Sekarang sudah sangat sulit karena hidupku sudah memiliki tanggung jawab kuliah dengan beban yang cukup berat.
Dua tahun setelah menginjak sweet seventeen, ayah pulang ke rumah sekaligus merayakan karena aku baru saja diterima di universitas top 3 negeri. Ayah, ibu, adik sangat berbahagia dan bangga padaku.
Ibu memberikanku hadiah sepeda motor, adik memberikanku tas lucu dari longchamp untuk kuliah. Dan saat itu, ayah membelikanku hadiah parfum, katanya dia membelikan parfum itu karena botolnya sangat lucu, berwarna biru, dan wanginya manis bunga, cocok buat aku yang suka aroma lembut.
Ayahku bahkan tahu jelas seperti apa seleraku, sesimpel dalam memilih parfum. Dan sejak saat itu, parfum yang diberikan ayah menjadi media paling berharga yang bisa mengingatkan aku dengan mudah tentang ayah.
Setelah masuk kuliah, aku harus pergi merantau. Kini, bukan hanya jauh dari ayah, tapi juga ibu dan adikku. Dulu, sebelum merantau, aku masih bisa bertemu dengan ayah beberapa bulan sekali, atau melalui video call. Sekarang sudah sangat sulit karena hidupku sudah memiliki tanggung jawab kuliah dengan beban yang cukup berat.
Apalagi di tahun pertama kuliah, kampusku dipenuhi kepala-kepala ambisius dan kompetitif. Semua orang berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik dengan pergerakan yang sangat cepat dalam berbagai bidang. Sebagai mahasiswa sastra, melakukan kritik dalam sebuah karya adalah hal lumrah. Tapi, tidak bagiku.
Saat itu, aku masih terlalu syok dengan perubahan yang terjadi secara signifikan, jauh dari keluarga, tidak bisa banyak menghabiskan waktu dengan ayah, fokus di bidang akademik dengan lingkungan yang kompetitif, pun aku juga mendapat tekanan luar biasa dari teman-teman sekelasku.
Aku memang sudah lama menulis Wattpad hingga dua karyaku berhasil terbit menjadi novel. Tapi, karyaku mendapat banyak kritikan dalam dunia literasi. Walaupun kritikan itu tidak diarahkan secara lugas kepadaku, tapi dengan mentalku yang masih dalam proses beradaptasi pada saat itu, benar-benar membuatku sangat sensitif.
Aku yang terbiasa dengan kata-kata hangat, bahkan hal-hal kecil selalu diapresiasi oleh Ayah dan Ibu, kini sebaliknya. Aku dihantam realitas yang begitu ganas.
Aku bahkan berpikir, rupanya dunia literasi tidak selalu ramah. Kritikan bertubi-tubi dari temanku untuk sebuah karya di Wattpad terdengar begitu tajam dan justru melukai perasaanku. Itu membuat mentalku goyah, aku mulai melemah, merasa insecure, dan pada akhirnya ...
Apalagi di tahun pertama kuliah, kampusku dipenuhi kepala-kepala ambisius dan kompetitif. Semua orang berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik dengan pergerakan yang sangat cepat dalam berbagai bidang. Sebagai mahasiswa sastra, melakukan kritik dalam sebuah karya adalah hal lumrah. Tapi, tidak bagiku.
Saat itu, aku masih terlalu syok dengan perubahan yang terjadi secara signifikan, jauh dari keluarga, tidak bisa banyak menghabiskan waktu dengan ayah, fokus di bidang akademik dengan lingkungan yang kompetitif, pun aku juga mendapat tekanan luar biasa dari teman-teman sekelasku.
Aku memang sudah lama menulis Wattpad hingga dua karyaku berhasil terbit menjadi novel. Tapi, karyaku mendapat banyak kritikan dalam dunia literasi. Walaupun kritikan itu tidak diarahkan secara lugas kepadaku, tapi dengan mentalku yang masih dalam proses beradaptasi pada saat itu, benar-benar membuatku sangat sensitif.
Aku yang terbiasa dengan kata-kata hangat, bahkan hal-hal kecil selalu diapresiasi oleh Ayah dan Ibu, kini sebaliknya. Aku dihantam realitas yang begitu ganas.
Aku bahkan berpikir, rupanya dunia literasi tidak selalu ramah. Kritikan bertubi-tubi dari temanku untuk sebuah karya di Wattpad terdengar begitu tajam dan justru melukai perasaanku. Itu membuat mentalku goyah, aku mulai melemah, merasa insecure, dan pada akhirnya ...
aku berhenti menulis, aku kalah.
Burnout itu membuatku jatuh ...
Ada malam-malam ketika aku menangis sendirian di kamar kos kecilku, tanpa bisa aku ceritakan kepada siapapun, bahkan ayah sekalipun. Video call masih ada, tapi rasanya tidak pernah cukup. Komunikasi layar membatasi kasih sayang yang seharusnya bisa kurasakan nyata.
Di saat-saat aku hampir mati karena stress berat, aku selalu menyemprotkan parfum dari ayah. Aku semprotkan perlahan di pergelangan tanganku. Seketika, aroma manis itu menyelimutiiku. Dan entah bagaimana, aku seperti bisa mendengar suara ayah di telingaku, mengulang kalimat-kalimatnya yang selalu menenangkan, "Del, jangan takut gagal, ya! Kamu boleh jatuh, tapi jangan pernah berhenti buat bangun lagi."
Tapi, di waktu yang sama juga, parfum itu menjelma ramuan penyihir, di satu sisi menjelma penawar kerinduan kepada ayah, tapi di satu sisi membuatku ingat bahwa parfum ini adalah teman ketika aku terjatuh. Dan itu adalah waktu yang tidak mau aku ulang, dan sesekali membuatku takut saat mengingatnya lagi. Rasanya jadi nano-nano setiap kali mencium aroma itu di tahun pertama kuliah.
Ada malam-malam ketika aku menangis sendirian di kamar kos kecilku, tanpa bisa aku ceritakan kepada siapapun, bahkan ayah sekalipun. Video call masih ada, tapi rasanya tidak pernah cukup. Komunikasi layar membatasi kasih sayang yang seharusnya bisa kurasakan nyata.
Di saat-saat aku hampir mati karena stress berat, aku selalu menyemprotkan parfum dari ayah. Aku semprotkan perlahan di pergelangan tanganku. Seketika, aroma manis itu menyelimutiiku.
Dan entah bagaimana, aku seperti bisa mendengar suara ayah di telingaku, mengulang kalimat-kalimatnya yang selalu menenangkan, "Del, jangan takut gagal, ya! Kamu boleh jatuh, tapi jangan pernah berhenti buat bangun lagi."
Tapi, di waktu yang sama juga, parfum itu menjelma ramuan penyihir, di satu sisi menjelma penawar kerinduan kepada ayah, tapi di satu sisi membuatku ingat bahwa parfum ini adalah teman ketika aku terjatuh.
Dan itu adalah waktu yang tidak mau aku ulang, dan sesekali membuatku takut saat mengingatnya lagi. Rasanya jadi nano-nano setiap kali mencium aroma itu di tahun pertama kuliah.
Tapi, meskipun begitu, cuma parfum ini yang menjadi penawar ketenangan saat itu. Air mataku selalu jatuh setiap kali mencium aroma itu.
Parfum ini menjadi jembatan menuju kenangan bersama ayah, menuju kasih sayang yang tidak bisa aku dengar dan sentuh, tapi aroma ini seolah memeluk diriku dengan seluruh kasih sayang ayah yang selalu ia berikan.
Dan bagiku, parfum ini bukan sekadar wangi, tapi juga rumah.
Saat ini, aku sudah beranjak semakin dewasa, aku bisa menyelesaikan pendidikanku dengan lancar walaupun cukup terengah-engah di tahun pertama.
Ayahku juga masih dinas di luar negeri, tapi aku semakin terbiasa. Ayah juga masih selalu mengirimku parfum ini bahkan sekarang parfum ini sudah melekat dengan karakter dan tubuhku, wangi floral yang manis dan lembut.
Aroma ini menjadi saksi perjalanan hidupku dengan ayah. Setelah aku bekerja sebagai editor di salah satu perusahaan redaksi di Jakarta, lagi-lagi, aroma ini yang membantuku merasa lebih tenang. Setiap kali kesulitan datang, parfum ini membawaku kembali pada nasihat-nasihat ayah yang membuatku menjadi termotivasi lagi untuk tidak pernah menyerah dalam hidup. Terima kasih ayah, aku sangat mencintaimu.
Itulah proses perjalanan Kaen dengan bunga melati yang mengitarinya. Cerita ini kami dapat ketika dia datang ke store tepat beberapa jam setelah dia menemukan lagi aroma melati di Halte Bus. Sembari snif-snif aroma di etalase toko, dia bercerita banyak tentang aroma bunga melati.
Bahkan, ada pesan yang dia titipkan, sangat hangat dan dalam sekali kesannya, perihal aroma bunga melati. Dia ingin dunia mengingat aroma itu sebagai lambang kesucian menuju pernikahan, bukan lagi tentang aroma mistis yang selama ini melekat di benak masyarakat.
Barangkali kamu juga seperti Kaen, suka menyimpan berbagai perjalanan hidup melalui aroma dan itu adalah salah satu hal yang tepat untuk menembus waktu di masa lalu. Menuju kisah selanjutnya, kami juga berhasil membuntuti kisah seorang remaja bernama Adelia Puspita. Dia adalah seorang penulis novel yang sudah best seller di Gramedia.
Dia juga membagikan kisah nya dengan kami, bagaimana aroma bisa menjadi mesin waktu untuk kembali mengingat dan mengenang tentang cinta pertamanya, yaitu Ayah.