Di sinilah awal perjalanan 'wangimu adalah ceritamu' akan dimulai, dan kami akan mengajak kamu memasuki lorong waktu bersama Kaen. Bagi Kaen, parfum bukan cuma tentang harum dan wangi, tapi juga sebuah mantra yang sakral, sebuah kekuatan yang mampu mengiringi setiap tarian dan perjuangannya.
Seperti mesin waktu yang membawanya bolak-balik antara masa lalu dan masa kini, aroma itu menjadi penolong, sahabat, bahkan api kecil yang terus menjaga mimpinya tetap menyala.
Maka, mari kita masuk lebih dalam ke perjalanan Kaen, seorang penari yang menemukan bahwa di balik setiap langkah kakinya, ada harum bunga melati yang setia menemaninya, menguatkannya, dan menjadikannya berani menghadapi pertunjukkan demi pertunjukkan ...
Di sinilah awal perjalanan 'wangimu adalah ceritamu' akan dimulai, dan kami akan mengajak kamu memasuki lorong waktu bersama Kaen.
Bagi Kaen, parfum bukan cuma tentang harum dan wangi, tapi juga sebuah mantra yang sakral, sebuah kekuatan yang mampu mengiringi setiap tarian dan perjuangannya.
Seperti mesin waktu yang membawanya bolak-balik antara masa lalu dan masa kini, aroma itu menjadi penolong, sahabat, bahkan api kecil yang terus menjaga mimpinya tetap menyala.
Maka, mari kita masuk lebih dalam ke perjalanan Kaen, seorang penari yang menemukan bahwa di balik setiap langkah kakinya, ada harum bunga melati yang setia menemaninya, menguatkannya, dan menjadikannya berani menghadapi pertunjukkan demi pertunjukkan ...
Aroma bunga melati,
aroma yang berhasil membawaku kembali
pada satu momen yang sangat berharga dalam hidup,
penuh proses dan kerja keras.
Aroma bunga melati, aroma yang berhasil membawaku kembali pada satu momen yang sangat berharga dalam hidup, penuh proses dan kerja keras.
Pelatihku di SMA yang pertama kali mengenalkan aroma ini. Katanya, melati bukan cuma sekadar wangi bunga, tapi simbol kesucian gerak dan penolong aura penari biar tubuhnya lebih bersinar saat di atas panggung. Awalnya aku percaya nggak percaya dan terdengar kaya mistis, tapi aku tetap mengikuti saran pelatihku. Dan ternyata, wangi melati di tubuhku cukup menenangkan, apalagi saat tampil di atas panggung.
Semakin hari, aku merasa, kalo apa yang dibilang pelatihku ada benarnya. Setiap kali aku cium aroma ini, entah bagaimana, aku merasa lebih percaya diri untuk beridiri di hadapan banyak orang. Dari situlah, melati berhenti menjadi sekadar bunga identik horor di kepalaku dan dia menjelma aroma suci untuk diriku secara pribadi.
Aroma melati menjadi teman latihan dan manggung ku dari sma hingga aku lulus kuliah.
Saat kuliah, melati nggak kupakai saat tampil atau latihan saja, tapi juga untuk sehari-hari karena memang hampir setiap hari aku latihan tari hehe:D
Dan melati juga, menjadi salah satu pereda emosiku saat menghadapi dua tarian paling sulit sepanjang perjalananku, yaitu tari kontemporer dan tari Topeng.
Kedua tari ini mau aku sajikan untuk menghadapi ujian tengah semester dan akhir semester 5.
Syarat dari lulus ujian ini adalah paling kecil mendapatkan nilai B+. Sedangkan aku, adalah anak yang cukup ambis dan ingin mencapai target nilai nyaris sempurna, yaitu A.
Belum lagi aku mendapatkan pelatih sekaligus pembimbing yang menaruh ekspektasi cukup tinggi.
Dia selalu menekan untuk tampil maksimal dan jadilah yang terbaik.
Walaupun kata terbaik itu belum secara paten ada ukurannya, maka aku jadikan nilai sempurna sebagai targetnya.
Dengan begitu, bukan hanya targetku yang tercapai, tapi untuk membanggakan orang-orang di sekitarku.
Tapi, tidak ada hasil yang lebih baik kecuali melalui usaha dan kerja keras yang luar biasa, kan?
Dalam prosesnya, aku benar-benar mati-matian belajar setiap detail dari kedua tarian ini. Tari kontemporer membuat tubuhku seakan dipaksa masuk ke dalam medan perang. Banyak gerakan eksplorasi ekstrem, seperti gerakan terjatuh, berguling, menghantam lantai, hingga bertrabakan dengan tubuh penari lain.
Latihan pun dilakukan berjam-jam membuat kulitku penuh memar, sendi-sendi terasa seperti retak, dan ototku sering kejang. Tarian ini seolah menuntut tubuhku untuk terus bergerak dalam repetisi tanpa henti. Gerakannya keras, ritmis, menghantam tubuh berkali-kali.
Bayangkan saja, tubuhku diulang-ulang melakukan benturan, sengaja dijatuhkan, dipaksa menahan sakit, demi menemukan ekspresi jujur dari sebuah gerakan. Tubuhku benar-benar babak belur saat itu.
Belum selesai di situ, datanglah tantangan dari tarian lain, tari Topeng. Jika kontemporer melukai fisikku, tari Topeng justru menguras mentalku. Aku harus menyatu dengan karakter yang ada di balik topeng. Karena dalam tarian ini, mimik wajah yang tidak terlihat.
Jadi, seluruh tubuhku harus bisa berbicara menyampaikan semua komunikasi dan makna yang ada dalam tarian ini. Setiap detail gerakan, seperti gerakan tangan, arah mata, bahkan cara bernafas harus presisi agar topeng seolah hidup.
Dua tarian ini memberikan tekanannya dan tuntutan luar biasa sepanjang aku masuk dunia tari. Di balik topeng itu, aku sering merasa tercecik oleh ekspektasi yang sangat tinggi.
Ada banyak ketakutan dalam diriku, takut tidak bisa menampilkan yang terbaik dan gagal mencapai target yang sudah aku tentukan. Apalagi, berulang kali aku gagal dalam proses latihan, diomelin pelatihku, dan rasanya bukan hanya tubuh yang runtuh, tapi juga harga diriku sebagai seorang penari.
Jujur saja, menjadi seorang penari tidaklah mudah, selain tubuhku yang terbaku hantam secara fisik, mental pun jadi mudah lelah dan capek. Entahlah, pokoknya, yang aku ingat, saat menghadapi dua tarian itu, aku menganggap diriku menjadi semakin labil dan sulit menahan emosi.
Aku jadi sering menangis tengah malam karena emosiku yang mudah naik turun. Perasaan cape yang dibawa sampai ke rumah juga seringkali mengimbas orang-orang di sekitarku. Aku sangat tidak suka dengan kondisi seperti itu. Tapi, bagaimana pun itu adalah bagian dari proses panjangku dalam bertumbuh.
Dan sangat bersyukur,
karena aroma melati berhasil membuatku lebih fokus lagi dalam latihan.
Dan sangat bersyukur,
karena aroma melati berhasil membuatku lebih fokus lagi dalam latihan.
Bukan, bukan membuat emosiku lebih stabil, tapi bisa mengurangi rasa terganggu saat latihan, khususnya soal bau badan. Dulu, saat SMA, aku sering merasa terganggu karena aroma keringet sendiri saat latihan. Akhirnya, aroma melati berhasil menutupi bau peluh itu.
Setidaknya, aroma ini bisa mengurangi gangguan untuk menyentuh emosiku yang nggak stabil saat itu dan bisa sedikit memberikan rasa tenang dalam kondisi yang terkadang meledak secara tiba-tiba akibat repetisi gerak yang menguras fisik dan mental.
Aromanya yang menempel di kulit, di kain kebaya, bahkan terasa wangi seruangan, seolah menempel di hidungku dan membuatku merasa lebih tenang. Dan saat ujian tengah dan akhir semester itu datang, aroma melati pun jadi teman setiaku naik di atas panggung.
Dengan penuh percaya diri aku menyajikan dua tarian ini. Puji syukur atas semua usaha gila yang aku lakukan, aku berhasil meraih nilai A dari kedua pertunjukkan ini.
Dan akhirnya aku juga mulai sadar, kalau aroma melati bukan cuma wangi bunga, tapi benang halus yang merajut seluruh perjalanan hidupku dalam dunia seni tari.
Dia berhasil menjadi teman saat aku tampil, menduduki kejuaraan saat ikut kompetisi, menjadi saksi utama bagaimana strugglenya masa kuliahku, dan berhasil menemaniku sampai akhir, yaitu lulus kuliah dengan nilai pertunjukkan paling sempurna, 4.00.
Tapi setelah lulus kuliah, aku memilih jalan lain, tidak ada lagi seni tari dan bunga melati dalam prosesnya, yaitu menjadi seorang Content Creator dan Beauty Influencer. Dunia yang seutuhnya berubah. Sudah 1,5 tahun aku meninggalkan panggung, di waktu yang sama juga aku tidak lagi menikmati aroma melati. Hampa itu ada, seperti kursi kosong di sudut hati.
Dan kini, di halte bus menuju perjalanan pulang ke rumah, aroma melati kembali menemuiku.
Dan kini, di halte bus menuju perjalanan pulang ke rumah, aroma melati kembali menemuiku.
Datang melalui keheningan yang sedang aku nikmati, tiba-tiba suasana itu retak oleh dua orang remaja yang berlari kecil, berlindung di bawah atap halte.
Seorang laki-laki tampak kemayu dan seorang perempuan dengan style khas anak ISBI. Tepat ketika mereka berdiri di sampingku, udara berubah. Ada aroma melati yang begitu pekat, seperti undangan tidak tertulis bagi ingatanku untuk kembali pulang.
Bukan cuma wangi, tapi sebuah mesin waktu yang berhasil membawaku masuk pada momen-momen saat itu, ada kebanggaan, air mata, dan tawa yang dulu pernah begitu penuh. Seketika, aku merasa tidak lagi berada di halte itu.
Begitu dalam aku menghirupnya, begitu jauh aku terseret masuk, menuju ruang latihan sempit dengan cermin besar, ke lantai kayu yang menyimpan bunyi hentakan kakiku, ke peluh yang jatuh di sela musik gamelan.
Dan juga, aku ingat beberapa hal yang ingin sekali aku sampaikan kepada kalian tentang aroma ini. Dia, tidak selalu identik dengan cerita horor atau yang menyeramkan, tapi aku mau kalian mengubah mindset tentang aroma ini. Dia, jauh lebih sakral dan penuh makna.
Dia adalah bahasa keindahan, wangi yang memeluk upacara pernikahan dan pertunjukan seni dengan rasa suci. Jika ada yang berkata "melati itu mistis," aku ingin menjawab, "tidak, melati adalah wangi yang membuatmu ingin jatuh cinta, bahkan saat menciumya kamu jadi ingin menikah."
Sebuah perjanjian suci antara dua insan, layaknya nahkoda dan awak yang berlayar bersama untuk menuju tujuan akhir bersama, yaitu membangun bahtera rumah tangga dan menuju pelabuhan kebahagiaan.
Dan lagi-lagi, aroma ini membuatku yakin, suatu hari nanti, aku akan memanggilnya kembali, tepat di hari pernikahanku, di bawah sanggul Sunda yang sarat Tampak sederhana, kan? bunga melati, menandai awal perjalanan terakhir, dan terpanjang dalam hidupku.
Tapi, mindset ini penting diubah biar orang yang mencium wangi melati itu bawaannya happy karena pengen nikah, bukan lagi karena serem hihi.
Waktu kembali menyentakku. 30 menit sudah aku termenung di halte bus. Hujan sudah reda, langit beranjak gelap. Aroma itu masih menempel di hidungku walau kedua remaja tadi pun sudah tidak ada di sini. Sepertinya, mereka sudah pergi sejak aku melamun. Karna aroma ini, aku juga baru ingat kalau parfum yang biasa aku pake sekarang udah habis dan belum sempat membeli. Aku bergegas naik bus terakhir menuju Cimahi dan berencana untuk mampir ke Uchi Parfume.
Aku menatap keluar jendela, membayangkan masa depan di mana melati kembali akan menghiasi kepalaku, menyimpan tawa dan kebahagiaan di hari yang kutunggu. Dan entah kenapa, malam ini aku merasa... sedikit kurang sabar untuk menembus waktu menuju masa depan.
Waktu kembali menyentakku. 30 menit sudah aku termenung di halte bus. Hujan sudah reda, langit beranjak gelap. Aroma itu masih menempel di hidungku walau kedua remaja tadi pun sudah tidak ada di sini.
Sepertinya, mereka sudah pergi sejak aku melamun. Karna aroma ini, aku juga baru ingat kalau parfum yang biasa aku pake sekarang udah habis dan belum sempat membeli. Aku bergegas naik bus terakhir menuju Cimahi dan berencana untuk mampir ke Uchi Parfume.
Aku menatap keluar jendela, membayangkan masa depan di mana melati kembali akan menghiasi kepalaku, menyimpan tawa dan kebahagiaan di hari yang kutunggu. Dan entah kenapa, malam ini aku merasa... sedikit kurang sabar untuk menembus waktu menuju masa depan.
Itulah proses perjalanan Kaen dengan bunga melati yang mengitarinya. Cerita ini kami dapat ketika dia datang ke store tepat beberapa jam setelah dia menemukan lagi aroma melati di Halte Bus. Sembari snif-snif aroma di etalase toko, dia bercerita banyak tentang aroma bunga melati.
Bahkan, ada pesan yang dia titipkan, sangat hangat dan dalam sekali kesannya, perihal aroma bunga melati. Dia ingin dunia mengingat aroma itu sebagai lambang kesucian menuju pernikahan, bukan lagi tentang aroma mistis yang selama ini melekat di benak masyarakat.
Barangkali kamu juga seperti Kaen, suka menyimpan berbagai perjalanan hidup melalui aroma dan itu adalah salah satu hal yang tepat untuk menembus waktu di masa lalu. Menuju kisah selanjutnya, kami juga berhasil membuntuti kisah seorang remaja bernama Adelia Puspita. Dia adalah seorang penulis novel yang sudah best seller di Gramedia.
Dia juga membagikan kisah nya dengan kami, bagaimana aroma bisa menjadi mesin waktu untuk kembali mengingat dan mengenang tentang cinta pertamanya, yaitu Ayah.