Tidak semua aroma adalah pengingat yang menyakitkan. Ada kalanya, wangi justru datang sebagai pintu keluar dari jurang kegelapan. Bagi sebagian orang, parfum adalah jembatan nostalgia tentang cinta yang usai. Tapi, bagi Andika, wangi itu justru hadir sebagai teman perjalanan ketika dirinya hampir terbenam dalam rasa malas, kehilangan semangat, dan runtuh di tengah perkuliahan.
Dalam kisah ini, kita akan menelusuri lorong waktu milik Andika. Seorang mahasiswa yang hampir kehilangan arah hidupnya, sebelum aroma itu mempertemukannya dengan hobi baru, bermusik. Bukan sembarang musik, melainkan lantunan klasik yang membawanya ke panggung besar bersama band legendaris bernama URBAN.
Tidak semua aroma adalah pengingat yang menyakitkan. Ada kalanya, wangi justru datang sebagai pintu keluar dari jurang kegelapan.
Bagi sebagian orang, parfum adalah jembatan nostalgia tentang cinta yang usai. Tapi, bagi Andika, wangi itu justru hadir sebagai teman perjalanan ketika dirinya hampir terbenam dalam rasa malas, kehilangan semangat, dan runtuh di tengah perkuliahan.
Dalam kisah ini, kita akan menelusuri lorong waktu milik Andika. Seorang mahasiswa yang hampir kehilangan arah hidupnya, sebelum aroma itu mempertemukannya dengan hobi baru, bermusik.
Bukan sembarang musik, melainkan lantunan klasik yang membawanya ke panggung besar bersama band legendaris bernama URBAN.
Bukan cuma aku saja, tapi kalian pun pasti pernah ngerasain, kan? Fase hidup yang sangat mandek, stuck dalam satu momen, dan produktivitas hancur. Aku pernah masuk masa itu ketika kuliah dan memasuki semester empat. Aku kehilangan energi untuk mengerjakan tugas, lebih memilih rebahan berjam-jam dengan pikiran kosong.
Hampir lima mata kuliah tidak aku kerjakan tugasnya dan sempat mendapatkan nilai E yang membuat aku harus mengulang di semester selanjutnya. Rasanya percuma saja melanjutkan kuliah, toh aku tidak pernah merasa cukup pintar atau cukup disiplin untuk menuntaskan semua ini.
Aku tahu, semua orang bilang masa kuliah harusnya jadi waktu paling indah. Tapi bagiku? Itu justru fase paling suram. Aku mulai menjauh dari teman-teman, menolak ajakan nongkrong, dan semakin hari semakin merasa tidak berguna.
Bukan cuma aku saja, tapi kalian pun pasti pernah ngerasain, kan? Fase hidup yang sangat mandek, stuck dalam satu momen, dan produktivitas hancur.
Aku pernah masuk masa itu ketika kuliah dan memasuki semester empat. Aku kehilangan energi untuk mengerjakan tugas, lebih memilih rebahan berjam-jam dengan pikiran kosong.
Hampir lima mata kuliah tidak aku kerjakan tugasnya dan sempat mendapatkan nilai E yang membuat aku harus mengulang di semester selanjutnya. Rasanya percuma saja melanjutkan kuliah, toh aku tidak pernah merasa cukup pintar atau cukup disiplin untuk menuntaskan semua ini.
Aku tahu, semua orang bilang masa kuliah harusnya jadi waktu paling indah. Tapi bagiku? Itu justru fase paling suram. Aku mulai menjauh dari teman-teman, menolak ajakan nongkrong, dan semakin hari semakin merasa tidak berguna.
Sampai suatu hari, aku bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu, iya, dia mantan pacarku pas SMA. Awal pertemuan kami cukup canggung, tapi tenggelam juga dalam obrolan menyenangkan dan dia memberikanku hadiah parfum.
“Aku kemarin beli parfum, inget banget dulu kamu suka wangi woody yang ga terlalu bold.”
“Ko masih inget aja?”
“Sebenernya nggak sengaja sih, aku lagi di salah satu store pafum refill gitu. Terus di sana bisa eksperimental sepuasnya. Aku nemu tuh wangi woody, jadi inget kamu, makanya aku langsung kontak kamu lagi.”
“Oalah, berarti gara-gara parfum toh kamu ngajak aku ketemu wkwkwk.”
“Hahah iya, tapi emang dah lama juga kan kita ga ketemu? Nggak ada salahnya kan silaturahmi. Oh iya, nanti juga ada temenku ko datang ke sini, kalian bisa kenalan.”
Pas aku coba aromanya, aroma itu meninggalkan sesuatu tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Anehnya, wangi itu tidak menusuk atau membawa aku masuk ke masa lalu yang pahit. Sebaliknya, aroma ini seperti cahaya kecil yang menembus tembok kusam di kepalaku.
Sampai suatu hari, aku bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu, iya, dia mantan pacarku pas SMA. Awal pertemuan kami cukup canggung, tapi tenggelam juga dalam obrolan menyenangkan dan dia memberikanku hadiah parfum.
“Aku kemarin beli parfum, inget banget dulu kamu suka wangi woody yang ga terlalu bold.”
“Ko masih inget aja?”
“Sebenernya nggak sengaja sih, aku lagi di salah satu store pafum refill gitu. Terus di sana bisa eksperimental sepuasnya. Aku nemu tuh wangi woody, jadi inget kamu, makanya aku langsung kontak kamu lagi.”
“Oalah, berarti gara-gara parfum toh kamu ngajak aku ketemu wkwkwk.”
“Hahah iya, tapi emang dah lama juga kan kita ga ketemu? Nggak ada salahnya kan silaturahmi. Oh iya, nanti juga ada temenku ko datang ke sini, kalian bisa kenalan.”
Pas aku coba aromanya, aroma itu meninggalkan sesuatu tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Anehnya, wangi itu tidak menusuk atau membawa aku masuk ke masa lalu yang pahit. Sebaliknya, aroma ini seperti cahaya kecil yang menembus tembok kusam di kepalaku.
Ada ketenangan samar yang menyusup setiap kali aku menghirup aroma ini. Bukan tentang dia, bukan tentang masa lalu kami, tapi semacam energi baru yang nggak bisa aku jelaskan.
Ada ketenangan samar yang menyusup setiap kali aku menghirup aroma ini. Bukan tentang dia, bukan tentang masa lalu kami, tapi semacam energi baru yang nggak bisa aku jelaskan.
Dari pertemuan itu, aku diperkenalkan pada Devo, temannya mantanku. Dia vokalis band klasik bernama URBAN yang cukup terkenal di fakultasku. Grup band ini bukan grup band biasa, mereka kerap membawakan lagu-lagu jadul, membuat aransemen baru, bahkan memodifikasi liriknya sesuai isu-isu panas pada masanya. Banyak orang suka dengan band mereka, bahkan banyak orang bilang kalo band mereka bukan cuma hiburan, tapi juga suara zaman.
Aku jadi penasaran bagaimana bisa mantanku kenal dengan si Devo ini yang padahal satu fakultas denganku. Tapi, aku tidak bertanya terlalu jauh dan memilih untuk mengabaikan saja. Satu hal yang pasti, sejak pertemuan itu, aku malah menjadi kawan akrab dengan Devo. Jadi sering ke kampus, ngobrol, dan nongkrong bareng.
Dari pertemuan itu, aku diperkenalkan pada Devo, temannya mantanku. Dia vokalis band klasik bernama URBAN yang cukup terkenal di fakultasku.
Grup band ini bukan grup band biasa, mereka kerap membawakan lagu-lagu jadul, membuat aransemen baru, bahkan memodifikasi liriknya sesuai isu-isu panas pada masanya. Banyak orang suka dengan band mereka, bahkan banyak orang bilang kalo band mereka bukan cuma hiburan, tapi juga suara zaman.
Aku jadi penasaran bagaimana bisa mantanku kenal dengan si Devo ini yang padahal satu fakultas denganku. Tapi, aku tidak bertanya terlalu jauh dan memilih untuk mengabaikan saja. Satu hal yang pasti, sejak pertemuan itu, aku malah menjadi kawan akrab dengan Devo. Jadi sering ke kampus, ngobrol, dan nongkrong bareng.
Devo mengajakku datang ke tempat band-nya latihan.
Devo mengajakku datang ke tempat band-nya latihan.
Awalnya aku tidak mau, tapi dipaksa ikut, jadi yaudah aku ikut saja. Saat latihan, Devo tiba-tiba menawariku untuk bermain gitar. Aku ragu karna sudah lama tidak bermain, tapi entah kenapa aroma woody yang aku pakai itu kembali mengitari ruang latihan yang penuh nada. Seolah memberiku dorongan untuk tidak menolak tawaran dari Devo.
“Lu jago main gitar kan, dulu liat pas pentas inagurasi. Nih, cobain aja sekali, siapa tau match sama kita,” kata Devo.
Dan begitu saja, aku duduk dengan gitar di tanganku. Jari-jariku sempat kaku, sempat ragu, tapi semakin lama aku bermain, semakin aku merasa beban kuliah, nilai jelek, dan rasa malas itu sirna. Dan aroma itu semakin mengharum satu ruangan hingga tidak terasa aku semakin menikmati gitar ini. Seakan setiap petikan gitar adalah jawaban atas kekacauan hidupku. Ketika gitar dipetik, ketika nada klasik disusun ulang, aku merasa ada ruang kosong dalam diriku yang akhirnya terisi.
Awalnya aku tidak mau, tapi dipaksa ikut, jadi yaudah aku ikut saja. Saat latihan, Devo tiba-tiba menawariku untuk bermain gitar. Aku ragu karna sudah lama tidak bermain, tapi entah kenapa aroma woody yang aku pakai itu kembali mengitari ruang latihan yang penuh nada. Seolah memberiku dorongan untuk tidak menolak tawaran dari Devo.
“Lu jago main gitar kan, dulu liat pas pentas inagurasi. Nih, cobain aja sekali, siapa tau match sama kita,” kata Devo.
Dan begitu saja, aku duduk dengan gitar di tanganku. Jari-jariku sempat kaku, sempat ragu, tapi semakin lama aku bermain, semakin aku merasa beban kuliah, nilai jelek, dan rasa malas itu sirna.
Dan aroma itu semakin mengharum satu ruangan hingga tidak terasa aku semakin menikmati gitar ini. Seakan setiap petikan gitar adalah jawaban atas kekacauan hidupku. Ketika gitar dipetik, ketika nada klasik disusun ulang, aku merasa ada ruang kosong dalam diriku yang akhirnya terisi.
“Lah, gila. Lu dari kapan sejago ini main? Mau coba gabung kita ga?” kata Devo sambil menepuk pundakku.
“Iya loh, URBAN belum nemu gitaris seciamik ini,” kata Andra, pemain drum dari band ini.
“Lu pada yakin gua bisa gabung,” nadaku dengan mata yang masih terharu, merasa senang, tapi juga lepas.
“Gabung bro, gua setuju ko, orang potensi lu juga ada dan besar gua liat-liat,” dukung Seno, yang tidak lain vokalis sekaligus ketua band URBAN.
“Lah, gila. Lu dari kapan sejago ini main? Mau coba gabung kita ga?” kata Devo sambil menepuk pundakku.
“Iya loh, URBAN belum nemu gitaris seciamik ini,” kata Andra, pemain drum dari band ini.
“Lu pada yakin gua bisa gabung,” nadaku dengan mata yang masih terharu, merasa senang, tapi juga lepas.
“Gabung bro, gua setuju ko, orang potensi lu juga ada dan besar gua liat-liat,” dukung Seno, yang tidak lain vokalis sekaligus ketua band URBAN.
Aku pun langsung menerima tawaran itu dan bergabung dengan grup band URBAN. Rasanya, semua rasa malas itu berkurang. Dan aku sangat bersyukur, karena aroma dari parfum woody itu yang menyelamatkan dan menemani sepanjang karierku dalam dunia musik.
Hingga akhirnya aku lulus kuliah, walau dengan predikat yang nggak bagus-bagus banget dan lumayan lambat, 6 tahun. Tapi, aku jadi mengenal banyak dunia musik.
Aku pun langsung menerima tawaran itu dan bergabung dengan grup band URBAN. Rasanya, semua rasa malas itu berkurang. Dan aku sangat bersyukur, karena aroma dari parfum woody itu yang menyelamatkan dan menemani sepanjang karierku dalam dunia musik.
Hingga akhirnya aku lulus kuliah, walau dengan predikat yang nggak bagus-bagus banget dan lumayan lambat, 6 tahun. Tapi, aku jadi mengenal banyak dunia musik.
Sekarang aku bekerja sebagai crew dalam berbagai event musik nasional, ini juga menjadi karier yang sedang aku dalami. Walaupun aku tidak lagi bagian dari grup band setelah lulus, tapi perjalanan itu yang menemukanku dengan karier saat ini.
Kini, ketika aku nengok ke belakang, aku sadar betapa besarnya peran aroma itu. Aku sangat berterima kasih dengan mantanku, walaupun kita tidak bisa lagi bersama karena adanya tembok yang cukup tinggi di antara kami, tapi kami tidak pernah berhenti berkomunikasi hingga saat ini.
Buatku, aroma ini tidak hadir sebagai pengingat masa lalu yang menyakitkan atau semacamnya, justru jadi penyelamat kecil yang menemani proses transformasiku. Dari mahasiswa yang nyaris menyerah, menjadi gitaris URBAN, dikenal banyak orang, hidup dalam dunia musik, dan menemukan versi terbaik dari diriku sendiri.
Sekarang aku bekerja sebagai crew dalam berbagai event musik nasional, ini juga menjadi karier yang sedang aku dalami. Walaupun aku tidak lagi bagian dari grup band setelah lulus, tapi perjalanan itu yang menemukanku dengan karier saat ini.
Kini, ketika aku nengok ke belakang, aku sadar betapa besarnya peran aroma itu. Aku sangat berterima kasih dengan mantanku, walaupun kita tidak bisa lagi bersama karena adanya tembok yang cukup tinggi di antara kami, tapi kami tidak pernah berhenti berkomunikasi hingga saat ini.
Buatku, aroma ini tidak hadir sebagai pengingat masa lalu yang menyakitkan atau semacamnya, justru jadi penyelamat kecil yang menemani proses transformasiku. Dari mahasiswa yang nyaris menyerah, menjadi gitaris URBAN, dikenal banyak orang, hidup dalam dunia musik, dan menemukan versi terbaik dari diriku sendiri.
Bagi Andika, aroma itu adalah teman perjalanan. Aroma menjadi teman ketika tubuh ingin menyerah, hingga akhirnya menuntunnya keluar dari zona nyaman menuju panggung yang lebih besar. Sebuah pengingat bahwa kadang hidup bisa berubah total hanya karena satu wangi yang singgah di udara.
Ya, begitulah aroma. Ada yang mencekik, ada juga yang membebaskan. Dan bagi Andika, aroma ini bukan sekadar parfum dari mantan, tapi titik balik yang membantunya masuk dunia musik, yaitu hobi baru yang menjadi jalan hidupnya hingga sekarang.
Bersambung ...